Api abadi sesembahan kaum Majusi yang telah menyala seribu tahun padam seketika. Pilar-pilar kokoh istana Kisra Persia pun tumbang berjatuhan. Dan banyak lagi, Walhasil, alam bergemuruh, menyambut kelahiran Nabi SAW sedemikian rupa.
Puluhan tahun kemudian, ada sahabat bertanya mengapa beliau berpuasa di hari Senin.
“Itulah hari kelahiranku dan hari aku diutus,” jawab beliau. Itulah cara beliau memperingati hari lahirnya. Beliau mensyukurinya dengan berpuasa, bahkan di setiap pekan.
Waktu berputar. Sumber-sumber sejarah mencatat beberapa versi terkait pihak yang awal mula merayakan maulid secara terbuka, pasca-era Nabi. Salah satu sumber mu’tamad, At-Tarikh karya ibnu Katsir, menyebut nama Al-Muzhaffar Abu Sa’id Kaukabri (wafat 630 H).
Kala itu kisah hidup Nabi diperdengarkan, keluhuran akhlaq beliau disebut-sebut, shalawat bergema silih berganti, hadirin dijamu layaknya tamu yang mesti dihormati. Meski hanya setahun sekali, inilah salah satu cara umat yang ingin mensyukuri kelahiran Sang Rahmatan lil ‘alamin. Di hati pecinta, sungguh ini kenikmatan tiada tara.
Terlepas dari berbagai versi sejarah itu, gagasan mengumpulkan orang dalam sebuah majlis Maulid nyatanya disambut baik oleh ulama, para pewaris anbiya’, seperti halnya shalat tarawih berjama’ah yang digagas Umar bin Khaththab RA, yang terus dilestarikan orang dari zaman ke zaman, di belahan bumi Islam timur dan barat.
Sebut saja Ibnu Hajar (penyusun kitab syarah Shahih Al-Bukhari) atau An-Nawawi (penyusun kitab syarah Shahih Muslim), dua dari sekian banyak ulama yang telah menjelaskan pada umat hujjah-hujjah syar’i amaliyah Maulid Nabi. Mereka bukan sembarang tokoh, dua kitab syarah mereka itu menjadi rujukan terpenting untuk memahami hadist-hadist shahih Rasulullah SAW. Belum lagi As-Suyuthi (penyusun kitab tafsir Al-Jalalain, bersama Al-Mahalli, dan sekitar 500 karya berbobot lainnya), yang sampai menyusun kitab khusus berisi perkara penting ini: Husn al-Maqshad fi ‘Amal al-Maulid.
Waktu terus berputar. Hingga datang satu kaum yang merasa paling murni tauhidnya dan benar mutlak pendapatnya menghukumi Maulid dengan tergesa-gesa. Hemat mereka, Maulid itu tak bersumber dari agama, termasuk amalan bid’ah, tradisi paham yang sesat, menyerupai kebiasaan orang kafir, dalil-dalilnya dipaksakan, jamuan yang dihidangkan haram, memuji-muji Nabi di dalamnya menjurus syirik, dan kelak para pelaku “bid’ah” ini menjadi ahli neraka. Semua itu utamanya bermodalkan dalil, “Tiap yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu ada di neraka” dan rumusan Ibn Taimiyah, “Sekiranya suatu amalan itu baik, niscaya salaf lebih dulu mengamalkannya.”
Benarkah demikian? Sesederhana, sedangkal dan sekaku itukah agama yang agung ini menilai amaliyah umatnya, hingga menempatkan kaum muslimin sejak dulu bagai sekumpulan orang-orang sesat dan para ulamanya bak orang-orang bodoh yang tak paham hadist Nabi SAW atau para pembangkang atas syariat yang beliau gariskan?
Selamat menyimak isi buku ini. Hati manusia tidaklah lebih panas dari api abadi Majusi atau sekeras pilar istana persi. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam memahami kebenaran dan dalam mengikutinya. Amiin..
KitabKuning.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Posting Komentar