Ummu Aiman adalah seorang hamba sahaya yang diwariskan kepada Muhammad oleh ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib.
Ummu Aiman mengasuh Muhammad sampai usia dewasa.
Dia dimerdekakan setelah Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, kemudian dinikahi oleh ’Ubaid bin Al-Harits dari suku Khazraj.
Dari pernikahannya dengan ’Ubaid, lahirlah Aiman. Aiman ikut hijrah dan berjihad bersama Muhammad dan gugur sebagai syahid dalam Perang Hunain.
Nabi Muhammad SAW sangat menghormati Ummu Aiman. Suatu ketika dia
mengunjunginya dan berkata, ”Wahai Ibu!”
Dia juga pernah berkata,
”Wanita ini adalah anggota keluargaku yang masih tersisa.”
Pada
kesempatan lain dia juga pernah berkata, ”Ummu Aiman adalah ibuku
setelah ibuku (wafat).”
Ummu Aiman mengasuh Muhammad kecil dengan penuh kelembutan. Setelah
Muhammad diangkat menjadi rasul, dia pernah berkata, ”Barang siapa yang
ingin menikah dengan wanita ahli surga, maka hendaklah ia menikahi Ummu
Aiman.”
Mendengar sabda Nabi SAW, Zaid bin Haritsah segera menikahinya. Dari
pernikahannya dengan Zaid, lahirlah Usamah bin Zaid, lelaki kesayangan
Muhammad.
Ketika Allah memerintahkan kaum muslim untuk hijrah ke Madinah,
Ummu Aiman termasuk angkatan pertama yang turut hijrah ke Madinah.
Dia
melakukan hijrah dengan berjalan kaki, tanpa bekal, dan dalam keadaan puasa
walaupun cuaca saat itu sangat panas, sehingga ia mengalami kehausan
yang sangat.
Selanjutnya, Allah memberikan kemurahan kepadanya dengan
menurunkan dari langit satu timba air dengan tali timba yang berwarna
putih. Dia pun meminumnya sampai puas.
Dalam sebuah riwayat, Ummu Aiman berkata, “Sesudah minum air itu, aku
tidak merasakan haus lagi. Meskipun aku berpuasa di tengah hari yang
biasanya aku merasa haus, kini aku tidak merasakan haus setelah minum
air itu. Sejak saat itu, jika aku berpuasa pada hari yang sangat panas,
aku tidak pernah merasakan haus."
Nabi Muhammad SAW memperlakukan Ummu Aiman layaknya ibu dia sendiri.
Suatu
saat Ummu Aiman mendatangi dia dan berkata, ”Wahai Rasulullah, bawalah
aku.”
Rasulullah berkata, ”Aku akan membawamu di atas anak unta.”
Ia berkata
lagi, ”Wahai Rasulullah, anak unta tidak sanggup menahan bebanku. Aku
tidak mau.”
Dia Rasulullah berkata lagi, ”Aku tidak mau membawamu, kecuali di atas anak
unta."
Rasulullah memang ingin mencandai Ummu Aiman, karena setiap unta
itu pastilah anak unta yang lain.
Begitulah Rasulullah, bahkan dalam
bercanda pun, dia tetap mengatakan sesuatu yang benar.
Ummu Aiman adalah wanita yang cedal (susah berbicara). Suatu ketika
Ummu Aiman datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Salaamun laa ’alaikum”
(Semoga keselamatan tidak terlimpahkan kepadamu). Muhammad pun memaklumi
ucapan salamnya itu, karena yang dia maksudkan sebenarnya adalah,
”Assalamu ’alaikum” (Semoga keselamatan tetap terlimpahkan kepadamu).
Di samping sifat-sifatnya yang terpuji, Ummu Aiman juga seorang
wanita yang selalu ingin bergabung bersama pahlawan Islam dalam
memerangi musuh-musuh Allah SWT untuk meninggikan kalimat-Nya,
kendatipun usianya sudah tua. Dia ikut di medan perang Uhud. Di sana dia
berusaha memanah sekuat kemampuannya, memberi minum pasukan yang
kehausan, dan mengobati mereka yang terluka. Dia juga turut menyertai
Muhammad dalam Perang Khaibar.
Setelah Muhammad wafat, Abu Bakar
berkata kepada Umar, ”Marilah kita mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana
Muhammad juga pernah mengunjunginya.”
Namun mereka berdua mendapati Ummu
Aiman sedang menangis. Abu Bakar dan Umar bertanya, ”Apa yang membuatmu
menangis? Bukankah tempat di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya?”
Ummu Aiman menjawab, ”Aku menangis bukan karena tidak tahu bahwa tempat
di sisi Allah adalah lebih baik bagi Muhammad. Aku menangis karena wahyu
sudah terputus dari langit.”
Mendengar jawaban itu Abu Bakar dan Umar
pun ikut menangis bersamanya.
Ummu Aiman wafat pada masa khalifah Utsman bin Affan,
bertepatan 20 hari setelah wafatnya Umar. Semoga Allah mencurahkan
rahmat-nya kepada Ummu Aiman, wanita yang berhijrah dengan berjalan kaki
dalam keadaan puasa, inang pengasuh Muhammad.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Posting Komentar