يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (176)
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah (yaitu); Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian supaya kalian tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ: سَمِعْتُ الْبَرَاءَ قَالَ: آخِرُ سُورَةٍ نَزَلَتْ: "بَرَاءَةٌ"، وَآخِرُ آيَةٍ نَزَلَتْ: {يَسْتَفْتُونَكَ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Barra (Ibnu Azib r.a.) berkata, "Surat yang paling akhir diturunkan adalah surat Al-Bara’ah (At-Taubah), dan ayat yang paling akhir diturunkan adalah firman-Nya: 'Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)' (An-Nisa: 176). hingga akhir ayat."
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: دَخَلَ عَلَيّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَا مَرِيضٌ لَا أَعْقِل، قَالَ: فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ صَبَّ عَلَيّ -أَوْ قَالَ صُبُّوا عَلَيْهِ -فَعَقَلْتُ فَقُلت: إِنَّهُ لَا يَرِثُنِي إِلَّا كَلَالَةٌ، فَكَيْفَ الْمِيرَاثُ؟ قَالَ: فَنَزَلَتْ آيَةُ الْفَرَائِضِ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Muhammad ibnul Munkadir yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah mengatakan: "Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahku ketika aku sedang sakit dan dalam keadaan tidak sadar." Jabir melanjutkan kisahnya, "Lalu Rasulullah Saw. berwudu, kemudian mengucurkan bekasnya kepadaku; atau perawi mengatakan bahwa mereka (yang hadir) menyiramkan (bekas air wudu)nya kepada Jabir. Karena itu aku sadar, lalu aku bertanya, 'Sesungguhnya tidak ada yang mewarisiku kecuali kalalah. Bagaimanakah cara pembagiannya?'." Lalu Allah menurunkan ayat faraid.Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain melalui Syu'bah.
Jama'ah meriwayatkannya melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir dengan lafaz yang sama.
Sedangkan dalam lafaz yang lainnya disebutkan bahwa lalu turunlah ayat miras, yaitu firman-Nya:
{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah." (An-Nisa: 176), hingga akhir ayat.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan, bahwa Abu Zubair (yakni Jabir) mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan diriku, yaitu firman-Nya:
{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepada kalian tentang katalah." (An-Nisa: 176)Seakan-akan makna ayat —hanya Allah Yang lebih mengetahui— bahwa mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah.
*******************
{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}
Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah." (An-Nisa: 176)Yakni perihal mewaris secara kalalah. Lafaz yang disebutkan ini menunjukkan adanya lafaz yang tidak disebutkan.
Dalam pembahasan yang lalu telah diterangkan makna lafaz kalalah dan akar katanya, bahwa kalalah itu diambil dari pengertian untaian bunga yang dikalungkan di atas kepala sekelilingnya. Karena itulah mayoritas ulama menafsirkannya dengan pengertian orang yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempunyai anak, tidak pula orang tua. Menurut salinan yang lain, tidak mempunyai anak, tidak pula cucu.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak. Seperti yang ditunjukkan oleh pengertian ayat ini, yaitu firman-Nya:
{إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ} {لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ}
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak, (An-Nisa: 176)Sesungguhnya hukum masalah kalalah ini sulit dipecahkan oleh Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a.. seperti yang disebutkan di dalam kitab Ash-Shahihain darinya, bahwa ia telah mengatakan:
ثَلَاثٌ وَدِدْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم كان عَهِدَ إِلَيْنَا فِيهِنَّ عَهْدًا نَنْتَهِي إِلَيْهِ: الْجَدُّ، وَالْكَلَالَةُ، وَأَبْوَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا.
Ada tiga perkara yang sejak semula aku sangat menginginkan bila Rasulullah Saw. memberikan keterangan kepada kami tentangnya dengan keterangan yang sangat memuaskan kami, yaitu masalah kakek, masalah kalalah, dan salah satu bab mengenai masalah riba.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبة، عَنْ قَتَادة، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الجَعْد، عَنْ مَعْدان بْنِ أَبِي طَلْحَةَ قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: مَا سألتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ أَكْثَرَ مِمَّا سَأَلْتُهُ عَنِ الْكَلَالَةِ، حَتَّى طَعَنَ بأُصْبُعِه فِي صَدْرِي وَقَالَ: " يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ الَّتِي فِي آخِرِ سُورَةِ النِّسَاءِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ma'dan ibnu Abu Talhah yang menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah mengatakan bahwa ia belum pernah menanyakan kepada Rasulullah Saw. suatu masalah pun yang lebih banyak dari pertanyaannya tentang masalah kalalah, sehingga Rasulullah Saw. menotok dada Umar dengan jari telunjuknya seraya bersabda: Cukuplah bagimu ayat saif (ayat yang diturunkan di musim panas) yang terdapat di akhir surat An-Nisa.Demikianlah riwayat Imam Ahmad secara singkat. Imam Muslim mengetengahkannya dengan lafaz yang panjang dan lebih banyak daripada riwayat Imam Ahmad.
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
قَالَ [الْإِمَامُ] أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيم، حَدَّثَنَا مالك -يعني ابن مِغْل-سَمِعْتُ الْفَضْلَ بْنَ عَمْرٍو، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عُمَرَ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: " يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ ". فَقَالَ: لَأَنْ أَكُونَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا أحبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يكونَ لِي حُمْر النَّعم.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Malik (yakni Ibnu Magul) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Fadl ibnu Amr, dari Ibrahim, dari Umar yang mengatakan, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah. Maka beliau Saw. menjawab: "Cukuplah bagimu ayat saif.” Umar mengatakan, "Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang kalalah lebih aku sukai daripada aku mempunyai ternak unta yang merah."Sanad hadis ini jayyid, hanya di dalamnya terdapat inqita' (mata rantai sanad yang terputus) antara Ibrahim dan Umar, karena sesungguhnya Ibrahim tidak menjumpai masa Umar r.a.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ البَراءِ بْنِ عازبٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: " يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. dan menanyakan kepadanya tentang masalah kalalah. Maka Nabi Saw. menjawab: Cukuplah bagimu ayat saif.Sanad hadis ini jayyid, diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi melalui Abu Bakar ibnu Ayyasy dengan lafaz yang sama. Seakan-akan yang dimaksud dengan ayat saif ialah ayat yang diturunkan pada musim panas.
Mengingat Nabi Saw. memberikan petunjuk kepadanya untuk memahami ayat tersebut, hal ini berarti di dalam ayat terkandung kecukupan yang nisbi untuk tidak menanyakannya kepada Nabi Saw. tentang maknanya. Karena itulah maka Khalifah Umar r.a. mengatakan, "Sesungguhnya jika aku menanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah ini, lebih aku sukai daripada aku mempunyai ternak unta yang merah."
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَكِيعٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنِ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرة، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المسيَّب قَالَ: سَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: " أَلَيْسَ قَدْ بَيَّنَ اللَّهُ ذَلِكَ؟ " فَنَزَلَتْ: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الكَلالَةِ]} الْآيَةَ.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki'. telah menceritakan kepada kami Jarir. telah menceritakan kepada kami Asy-Syaibani, dari Amr ibnu Murrah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Umar r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah. Maka Nabi Saw. menjawab: Bukankah Allah telah menjelaskan hal tersebut? Lalu turunlah firman-Nya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). (An-Nisa: 176), hingga akhir ayat.Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq mengatakan di dalam khotbahnya: Ingatlah, sesungguhnya ayat yang diturunkan pada permulaan surat An-Nisa berkenaan dengan masalah faraid, Allah menurunkannya untuk menjelaskan warisan anak dan orang tua. Ayat yang kedua diturunkan oleh Allah untuk menjelaskan warisan suami, istri, dan saudara-saudara lelaki seibu. Ayat yang mengakhiri surat An-Nisa diturunkan oleh Allah untuk menjelaskan warisan saudara-saudara laki-laki dan perempuan yang seibu seayah (sekandung). Dan ayat yang mengakhiri surat Al-Anfal diturunkan berkenaan dengan masalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain yang lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitabullah sesuai dengan ketentuan asabah dari hubungan darah.
Asar diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Pembahasan mengenai makna ayat.
Hanya kepada Allah meminta pertolongan dan hanya kepada-Nya bertawakal.
Firman Allah Swt.:
Yang dimaksud dengan halaka (binasa) ialah meninggal dunia. Dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya:
Maksudnya, segala sesuatu pasti binasa; tiada yang kekal kecuali hanya Allah Swt, seperti makna yang terkandung dalam ayat lainnya, yaitu:
Adapun firman Allah Swt.:
Ayat ini dijadikan pegangan oleh orang yang berpendapat bahwa bukan termasuk syarat waris-mewaris secara kalalah ketiadaan orang tua bahkan cukup bagi kalalah ketiadaan anak. Pendapat ini merupakan riwayat dari Umar ibnul Khattab yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir dengan sanad yang sahih sampai kepada Umar r.a.
Akan tetapi, hal yang dapat dijadikan rujukan dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama dan peradilan As-Siddiq (Abu Bakar r.a.) yang mengatakan bahwa kalalah itu adalah orang yang tidak mempunyai anak, tidak pula orang tua (yakni ayah). Pengertian ini diperkuat oleh makna firman Selanjutnya yang mengatakan:
Dengan kata lain, seandainya saudara perempuannya itu dibarengi dengan ayah, niscaya ia tidak dapat mewarisi sesuatu pun karena hak warisnya di-mahjub (terhalang) oleh ayah, menurut kesepakatan semua ulama. Hal ini menunjukkan bahwa yang dinamakan waris-me-waris secara kalalah ialah bagi orang yang tidak mempunyai anak atas dasar nas Al-Qur'an; dan tidak pula mempunyai ayah, juga berdasarkan nas Al-Qur'an, jika direnungkan secara mendalam. Karena saudara perempuan tidak memperoleh bagian seperdua bila ada ayah, bahkan dia tidak dapat mewarisi sama sekali.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abdullah, dari Mak-hul dan Atiyyah, Hamzah serta Rasyid, dari Zaid ibnu Sabit, bahwa ia pernah ditanya mengenai masalah suami, saudara perempuan seayah dan seibu (sekandung). Maka Zaid ibnu Sabit seperdua dan saudara perempuan seibu dan seayah seperdua. Lalu ia menceritakan hal tersebut, bahwa ia pernah menghadiri ketika Rasulullah Saw. memutuskan hal seperti itu.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid bila ditinjau dari segi ini.
Ibnu Jarir dan lain-lainnya menukil dari Ibnu Abbas dan Ibnuz Zubair, bahwa keduanya pernah mengatakan sehubungan dengan masalah seorang mayat yang meninggalkan seorang anak perempuan dan seorang saudara perempuan, bahwa saudara perempuan tidak mendapat apa-apa, karena berdasarkan firman-Nya:
Ibnu Jarir mengatakan, "Apabila ia meninggalkan anak perempuan, berarti sama saja dengan meninggalkan anak. Karena itu, saudara perempuan tidak mendapat warisan."
Tetapi jumhur ulama berpendapat berbeda. Mereka mengatakan bahwa dalam masalah ini anak perempuan mendapat seperdua karena bagian yang telah dipastikan untuknya, sedangkan bagi saudara perempuan seperdua lainnya secara ta'sib (yakni 'asabah ma'al gair), karena berdasarkan ayat lain. Sedangkan makna yang terkandung dalam ayat ini menaskan adanya bagian yang dipastikan bagi saudara perempuan dalam gambaran seperti ini. Cara mewaris dengan ta'sib, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui jalur Sulaiman, dari Ibrahim ibnul Aswad yang menceritakan bahwa sahabat Mu'az ibnu Jabal pernah memutuskan terhadap kami di masa Rasulullah Saw. seperdua bagi anak perempuan dan seperdua lainnya bagi saudara perempuan. Kemudian Sulaiman mengatakan bahwa dia memutuskan hal tersebut terhadap kami tanpa menyebutkan di masa Rasulullah Saw.
Di dalam kitab Sahih Bukhari pula disebutkan dari Hazil ibnu Syurahbil yang menceritakan bahwa Abu Musa Al-Asy'ari pernah ditanya mengenai masalah anak perempuan, anak perempuan anak laki-laki, dan saudara perempuan. Abu Musa Al-Asy'ari menjawab, "Anak perempuan mendapat seperdua harta peninggalan si mayat, dan saudara perempuan mendapat seperdua lainnya." Lalu mereka datang kepada sahabat Ibnu Mas'ud untuk menanyakan masalah itu. tetapi terlebih dahulu diceritakan kepadanya tentang pendapat Abu Musa. Ibnu Mas'ud menjawab, "Kalau demikian, sesungguhnya aku menjadi sesat dan bukan termasuk orang yang mendapat petunjuk. Aku akan memutuskan perkara ini seperti apa yang pernah diputuskan oleh Nabi Saw., yaitu: Seperdua bagi anak perempuan, bagi anak perempuan anak laki-laki seperenam untuk menyempurnakan bagian dua pertiga, sedangkan sisanya bagi saudara perempuan." Kami datang kepada Abu Musa dan menceritakan perkataan Ibnu Mas'ud itu kepadanya. Ia menjawab, "Janganlah kalian bertanya kepadaku lagi selagi orang yang alim ini masih ada di antara kalian,"
Yakni saudara laki-laki mewarisi semua harta saudara perempuannya jika saudara perempuannya meninggal dunia secara kalalah dan tidak mempunyai anak. Dengan kata lain, tidak bersama ayah dan tidak bersama anak mayat; karena sesungguhnya jika saudara perempuannya itu mempunyai orang tua (ayah), maka saudara laki-laki tidak dapat mewarisinya barang sedikit pun.
Jika ternyata saudara laki-laki ada bersama orang yang mempunyai bagian yang pasti, maka bagian itu diberikan kepadanya seperti suami atau saudara laki-laki seibu, sedangkan sisanya diberikan kepadanya.
Ditetapkan demikian karena berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Artinya, jika orang yang mati secara kalalah mempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagian yang pasti bagi keduanya adalah dua pertiga. Hukum yang sama berlaku bila bilangan saudara perempuan si mayat lebih dari dua orang.
Dari pengertian ini segolongan ulama menarik kesimpulan hukum waris dua anak perempuan, sebagaimana dapat ditarik kesimpulan pula hukum saudara-saudara perempuan dari hak waris anak-anak perempuan, yaitu yang ada dalam firman-Nya:
Demikianlah hukum asabah dari anak-anak lelaki, cucu laki-laki, dan saudara-saudara lelaki, jika lelaki dari mereka berkumpul dengan perempuannya, yakni bagian lelaki sama dengan bagian perempuan dua orang.
Yakni menetapkan kepada kalian fardu-fardu-Nya, meletakkan untuk kalian batasan-batasan-Nya. serta menjelaskan kepada kalian syariat-syariat-Nya.
Maksudnya, agar kalian tidak sesat dari perkara yang hak sesudah penjelasan ini.
yaitu Dia mengetahui semua akibat segala perkara dan kemaslahatannya, serta kebaikan bagi hamba-hamba-Nya yang terkandung di dalam perkara-perkara tersebut, dan apa yang berhak diterima oleh masing-masing dari kaum kerabat sesuai dengan kedekatan nasabnya dengan si mayat.
Abu Ja"far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya*qub, telah menceritakan kepadaku Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa ketika mereka (para sahabat) berada dalam suatu perjalanan, sedangkan kepala kendaraan Huzaifah berada di belakang Rasulullah Saw. dan kepala kendaraan Umar berada di belakang Huzaifah. Muhammad ibnu Sirin melanjutkan kisahnya, bahwa kemudian turunlah firman-Nya:
Maka Rasulullah Saw. membacakannya kepada Huzaifah, dan Huzaifah membacakannya pula kepada Umar. Sesudah kejadian tersebut Umar bertanya kepada Huzaifah mengenai maknanya. Huzaifah menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya engkau ini dungu jika engkau menduga bahwa Nabi Saw. telah memberitahukan maknanya kepadaku, lalu aku mengajarkannya kepadamu sebagaimana Rasulullah Saw. mengajarkannya kepadaku. Demi Allah, aku tidak menambahi sesuatu pun padanya untuk selama-lamanya." Muhammad ibnu Sirin melanjutkan kisahnya, bahwa Umar mengatakan, "Ya Allah, jika Engkau telah menjelaskan makna ayat ini kepadanya, maka sesungguhnya makna ayat ini belum dijelaskan kepadaku."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Al-Hasan ibnu Yahya, dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin dengan makna yang sama. Hadis ini munqati' antara Ibnu Sirin dan Huzaifah.
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Amr Al-Bazzar mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Hammad Al-Ma'anni dan Muhammad ibnu Marzuq; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hissan, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Ubaidah ibnu Huzaifah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ayat kalalah diturunkan kepada Nabi Saw. ketika beliau sedang dalam perjalanan. Nabi Saw. berhenti, dan tiba-tiba beliau mendapatkan Huzaifah berada di belakang unta kendaraannya sedang menaiki unta kendaraannya; maka Nabi Saw. membacakan ayat itu kepadanya. Lalu Huzaifah melihat ke belakang. Tiba-tiba ia melihat Umar r.a. Maka Huzaifah membacakan ayat itu kepadanya. Ketika sahabat Umar memegang jabatan khalifah, ia memperhatikan masalah kalalah. Maka ia memanggil Huzaifah dan menanyakan tentang makna ayat tersebut. Huzaifah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah mengajarkannya kepadaku, lalu aku mengajarkannya kepadamu, sebagaimana aku menerimanya dari Rasulullah. Demi Allah, aku benar-benar jujur. Demi Allah, aku sama sekali tidak menambahkan sesuatu pun dari hal itu."
Kemudian Al-Bazzar mengatakan, "Dalam hadis ini kami tidak mengetahui seorang pun yang meriwayatkannya kecuali Huzaifah, dan kami tidak mengetahui hadis ini mempunyai jalur sampai kepada Huzaifah kecuali jalur ini. Tiada yang meriwayatkannya dari Hisyam, kecuali Abdul A'la."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Abdul A'la.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya, kemudian ia meriwayatkan lagi melalui jalur Ibnu Uyaynah, dari Umar ibnu Tawus, bahwa Umar menyuruh Hafsah menanyakan masalah kalalah kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. mengimlakan kepada Hafsah untuk ditulis pada sebuah tulang paha, lalu Nabi Saw. bersabda.
Sufyan berkata: Yang dimaksud dengan ayat saif ialah yang ada di dalam surat An-Nisa, yaitu firman-Nya:
Tatkala mereka menanyakan kalalah kepada Rasulullah Saw., turunlah ayat yang ada di akhir surat An-Nisa. Maka Umar meletakkan tulang paha tersebut Demikianlah yang dikatakannya (Umar ibnu Tawus) dalam hadis ini. Dengan demikian, berarti hadis ini mursal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Assam, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang menceritakan bahwa Umar mengambil tulang paha (yang ada catatannya), lalu ia mengumpulkan semua sahabat Rasulullah Saw. Kemudian ia berkata. ”Sesungguhnya aku akan memutuskan terhadap perkara kalalah dengan suatu keputusan yang kelak akan menjadi bahan pembicaraan kaum wanita di tempat pingitannya." Ketika itu juga muncul seekor ular dari rumah itu, maka mereka bubar. Umar berkata, "Seandainya Allah Swt. menghendaki untuk menyempurnakan urusan ini, niscaya Dia menyempurnakannya."
Sanad asar ini sahih.
Al-Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Uqbah Asy-Syaibani di Kufah, telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Talhah ibnu Yazid ibnu Rukanah menceritakan asar berikut dari Umar ibnul Khatib yang mengatakan, "Sesungguhnya jika aku menanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang tiga perkara, hal ini lebih aku sukai daripada ternak unta yang merah," yang dimaksud ialah menjadi khalifah sesudahnya.”Yaitu mengenai masalah suatu kaum yang mengatakan bahwa zakat dikurangi dari harta benda kami, dan kami tidak mau menunaikannya kepadamu, apakah boleh memerangi mereka? Masalah lainnya tentang kalalah"
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih sanadnya dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Kemudian Imam Hakim meriwayatkan asar ini dari Sufyan ibnu Uyaynah. dari Umar ibnu Murrah, dari Umar yang mengatakan: Ada tiga perkara jika Nabi Saw. berada di antara semuanya bagi kami, niscaya lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya, yaitu khilafah, kalalah, dan masalah riba.
Kemudian Imam Hakim mengatakan asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Masih dalam asar yang sama sampai kepada Sufyan ibnu Uyaynah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sulaiman Al-Ahwal menceritakan sebuah asar dari Tawus yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan, aku adalah orang yang paling akhir bersua dengan Umar, maka aku pernah mendengarnya mengatakan perkataan seperti yang kamu katakan itu. Aku (Tawus) bertanya, "Apakah yang telah kukatakan?" Sulaiman Al-Ahwal menjawab, "Engkau telah mengatakan bahwa kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak."
Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat keduanya (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur Zam'ah ibnu Saleh, dari Amr ibnu Dinar dan Sulaiman Al-Ahwal, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang paling akhir bersua dengan Umar ibnul Khattab. Umar mengatakan bahwa ia pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar mengenai masalah kalalah. Sedangkan pendapat yang dikatakannya adalah seperti pendapatmu. Disebutkan bahwa Umar mempersekutukan dalam hal mewaris antara saudara-saudara lelaki seibu seayah dengan saudara-saudara lelaki seibu dalam sepertiga, bila mereka semuanya berkumpul dalam suatu warisan. Tetapi Abu Bakar r.a. berpendapat berbeda.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid Al-Umra, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa Khalifah Umar menulis suatu masalah sehubungan dengan masalah kakek dan kalalah ke dalam suatu catatan, lalu ia beristikharah kepada Allah seraya mengatakan, "Ya Allah, jika Engkau mengetahui dalam masalah ini ada kebaikan, maka langsungkanlah." Ketika ia ditusuk, sambil kesakitan menahan lukanya yang parah ia memerintahkan agar catatannya itu diberikan kepadanya, lalu ia menghapus catatannya, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui apa isinya. Lalu ia berkata, "Sesungguhnya aku pernah menulis suatu catatan sehubungan dengan masalah kakek dan kalalah, lalu aku beristikharah kepada Allah mengenainya, akhirnya aku berpendapat membiarkan kalian seperti apa yang kalian jalankan sekarang."
Ibnu Jarir mengatakan, telah diriwayatkan dari Umar r.a. bahwa ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku merasa malu bila berselisih pendapat dalam masalah ini dengan Abu Bakar." Tersebutlah bahwa Abu Bakar r.a. mengatakan bahwa kalalah itu ialah ahli waris selain anak dan ayah.
Pendapat yang dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq ini dijadikan pegangan oleh jumhur sahabat, tabi'in dan para imam sejak zaman dahulu hingga sekarang. Pendapat ini merupakan pegangan mazhab yang empat, ahli fiqih yang tujuh orang, dan pendapat para ulama di kota-kota besar. Pendapat inilah yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan dijelaskan melalui firman-Nya:
Firman Allah Swt.:
{إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ}
Jika seorang meninggal dunia. (An-Nisa: 176)Yang dimaksud dengan halaka (binasa) ialah meninggal dunia. Dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya:
{كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ}
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (Al-Qashash: 88)Maksudnya, segala sesuatu pasti binasa; tiada yang kekal kecuali hanya Allah Swt, seperti makna yang terkandung dalam ayat lainnya, yaitu:
{كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ. وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ}
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Ar-Rahman: 26-27)Adapun firman Allah Swt.:
{لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ}
dan ia tidak mempunyai anak. (An-Nisa: 176)Ayat ini dijadikan pegangan oleh orang yang berpendapat bahwa bukan termasuk syarat waris-mewaris secara kalalah ketiadaan orang tua bahkan cukup bagi kalalah ketiadaan anak. Pendapat ini merupakan riwayat dari Umar ibnul Khattab yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir dengan sanad yang sahih sampai kepada Umar r.a.
Akan tetapi, hal yang dapat dijadikan rujukan dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama dan peradilan As-Siddiq (Abu Bakar r.a.) yang mengatakan bahwa kalalah itu adalah orang yang tidak mempunyai anak, tidak pula orang tua (yakni ayah). Pengertian ini diperkuat oleh makna firman Selanjutnya yang mengatakan:
{وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ}
sedangkan dia mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (An-Nisa: 176)Dengan kata lain, seandainya saudara perempuannya itu dibarengi dengan ayah, niscaya ia tidak dapat mewarisi sesuatu pun karena hak warisnya di-mahjub (terhalang) oleh ayah, menurut kesepakatan semua ulama. Hal ini menunjukkan bahwa yang dinamakan waris-me-waris secara kalalah ialah bagi orang yang tidak mempunyai anak atas dasar nas Al-Qur'an; dan tidak pula mempunyai ayah, juga berdasarkan nas Al-Qur'an, jika direnungkan secara mendalam. Karena saudara perempuan tidak memperoleh bagian seperdua bila ada ayah, bahkan dia tidak dapat mewarisi sama sekali.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abdullah, dari Mak-hul dan Atiyyah, Hamzah serta Rasyid, dari Zaid ibnu Sabit, bahwa ia pernah ditanya mengenai masalah suami, saudara perempuan seayah dan seibu (sekandung). Maka Zaid ibnu Sabit seperdua dan saudara perempuan seibu dan seayah seperdua. Lalu ia menceritakan hal tersebut, bahwa ia pernah menghadiri ketika Rasulullah Saw. memutuskan hal seperti itu.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid bila ditinjau dari segi ini.
Ibnu Jarir dan lain-lainnya menukil dari Ibnu Abbas dan Ibnuz Zubair, bahwa keduanya pernah mengatakan sehubungan dengan masalah seorang mayat yang meninggalkan seorang anak perempuan dan seorang saudara perempuan, bahwa saudara perempuan tidak mendapat apa-apa, karena berdasarkan firman-Nya:
{إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ}
jika seorang meninggal dunia, dan ia ddak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, (An-Nisa: 176)Ibnu Jarir mengatakan, "Apabila ia meninggalkan anak perempuan, berarti sama saja dengan meninggalkan anak. Karena itu, saudara perempuan tidak mendapat warisan."
Tetapi jumhur ulama berpendapat berbeda. Mereka mengatakan bahwa dalam masalah ini anak perempuan mendapat seperdua karena bagian yang telah dipastikan untuknya, sedangkan bagi saudara perempuan seperdua lainnya secara ta'sib (yakni 'asabah ma'al gair), karena berdasarkan ayat lain. Sedangkan makna yang terkandung dalam ayat ini menaskan adanya bagian yang dipastikan bagi saudara perempuan dalam gambaran seperti ini. Cara mewaris dengan ta'sib, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui jalur Sulaiman, dari Ibrahim ibnul Aswad yang menceritakan bahwa sahabat Mu'az ibnu Jabal pernah memutuskan terhadap kami di masa Rasulullah Saw. seperdua bagi anak perempuan dan seperdua lainnya bagi saudara perempuan. Kemudian Sulaiman mengatakan bahwa dia memutuskan hal tersebut terhadap kami tanpa menyebutkan di masa Rasulullah Saw.
Di dalam kitab Sahih Bukhari pula disebutkan dari Hazil ibnu Syurahbil yang menceritakan bahwa Abu Musa Al-Asy'ari pernah ditanya mengenai masalah anak perempuan, anak perempuan anak laki-laki, dan saudara perempuan. Abu Musa Al-Asy'ari menjawab, "Anak perempuan mendapat seperdua harta peninggalan si mayat, dan saudara perempuan mendapat seperdua lainnya." Lalu mereka datang kepada sahabat Ibnu Mas'ud untuk menanyakan masalah itu. tetapi terlebih dahulu diceritakan kepadanya tentang pendapat Abu Musa. Ibnu Mas'ud menjawab, "Kalau demikian, sesungguhnya aku menjadi sesat dan bukan termasuk orang yang mendapat petunjuk. Aku akan memutuskan perkara ini seperti apa yang pernah diputuskan oleh Nabi Saw., yaitu: Seperdua bagi anak perempuan, bagi anak perempuan anak laki-laki seperenam untuk menyempurnakan bagian dua pertiga, sedangkan sisanya bagi saudara perempuan." Kami datang kepada Abu Musa dan menceritakan perkataan Ibnu Mas'ud itu kepadanya. Ia menjawab, "Janganlah kalian bertanya kepadaku lagi selagi orang yang alim ini masih ada di antara kalian,"
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ}
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak. (An-Nisa: 176)Yakni saudara laki-laki mewarisi semua harta saudara perempuannya jika saudara perempuannya meninggal dunia secara kalalah dan tidak mempunyai anak. Dengan kata lain, tidak bersama ayah dan tidak bersama anak mayat; karena sesungguhnya jika saudara perempuannya itu mempunyai orang tua (ayah), maka saudara laki-laki tidak dapat mewarisinya barang sedikit pun.
Jika ternyata saudara laki-laki ada bersama orang yang mempunyai bagian yang pasti, maka bagian itu diberikan kepadanya seperti suami atau saudara laki-laki seibu, sedangkan sisanya diberikan kepadanya.
Ditetapkan demikian karena berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا أَبْقَتِ الْفَرَائِضُ فَلأوْلَى رجلٍ ذَكَر"
Berikanlah bagian-bagian yang pasti itu kepada pemiliknya masing-masing, sedangkan sisa dari bagian-bagian yang pasti itu diberikan kepada lelaki yang lebih berhak menerimanya dari ahli waris (asabah) yang ada.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ}
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maku bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. (An-Nisa: 176)Artinya, jika orang yang mati secara kalalah mempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagian yang pasti bagi keduanya adalah dua pertiga. Hukum yang sama berlaku bila bilangan saudara perempuan si mayat lebih dari dua orang.
Dari pengertian ini segolongan ulama menarik kesimpulan hukum waris dua anak perempuan, sebagaimana dapat ditarik kesimpulan pula hukum saudara-saudara perempuan dari hak waris anak-anak perempuan, yaitu yang ada dalam firman-Nya:
{فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ}
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. (An-Nisa: 11)
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ}
Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara lelaki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. (An-Nisa: 176)Demikianlah hukum asabah dari anak-anak lelaki, cucu laki-laki, dan saudara-saudara lelaki, jika lelaki dari mereka berkumpul dengan perempuannya, yakni bagian lelaki sama dengan bagian perempuan dua orang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ}
Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian. (An-Nisa: 176)Yakni menetapkan kepada kalian fardu-fardu-Nya, meletakkan untuk kalian batasan-batasan-Nya. serta menjelaskan kepada kalian syariat-syariat-Nya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَنْ تَضِلُّوا}
supaya kalian tidak sesat. (An-Nisa: 176)Maksudnya, agar kalian tidak sesat dari perkara yang hak sesudah penjelasan ini.
{وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 176)yaitu Dia mengetahui semua akibat segala perkara dan kemaslahatannya, serta kebaikan bagi hamba-hamba-Nya yang terkandung di dalam perkara-perkara tersebut, dan apa yang berhak diterima oleh masing-masing dari kaum kerabat sesuai dengan kedekatan nasabnya dengan si mayat.
Abu Ja"far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya*qub, telah menceritakan kepadaku Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa ketika mereka (para sahabat) berada dalam suatu perjalanan, sedangkan kepala kendaraan Huzaifah berada di belakang Rasulullah Saw. dan kepala kendaraan Umar berada di belakang Huzaifah. Muhammad ibnu Sirin melanjutkan kisahnya, bahwa kemudian turunlah firman-Nya:
{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah." (An-Nisa: 176), hingga akhir ayat.Maka Rasulullah Saw. membacakannya kepada Huzaifah, dan Huzaifah membacakannya pula kepada Umar. Sesudah kejadian tersebut Umar bertanya kepada Huzaifah mengenai maknanya. Huzaifah menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya engkau ini dungu jika engkau menduga bahwa Nabi Saw. telah memberitahukan maknanya kepadaku, lalu aku mengajarkannya kepadamu sebagaimana Rasulullah Saw. mengajarkannya kepadaku. Demi Allah, aku tidak menambahi sesuatu pun padanya untuk selama-lamanya." Muhammad ibnu Sirin melanjutkan kisahnya, bahwa Umar mengatakan, "Ya Allah, jika Engkau telah menjelaskan makna ayat ini kepadanya, maka sesungguhnya makna ayat ini belum dijelaskan kepadaku."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Al-Hasan ibnu Yahya, dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin dengan makna yang sama. Hadis ini munqati' antara Ibnu Sirin dan Huzaifah.
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Amr Al-Bazzar mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Hammad Al-Ma'anni dan Muhammad ibnu Marzuq; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hissan, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Ubaidah ibnu Huzaifah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ayat kalalah diturunkan kepada Nabi Saw. ketika beliau sedang dalam perjalanan. Nabi Saw. berhenti, dan tiba-tiba beliau mendapatkan Huzaifah berada di belakang unta kendaraannya sedang menaiki unta kendaraannya; maka Nabi Saw. membacakan ayat itu kepadanya. Lalu Huzaifah melihat ke belakang. Tiba-tiba ia melihat Umar r.a. Maka Huzaifah membacakan ayat itu kepadanya. Ketika sahabat Umar memegang jabatan khalifah, ia memperhatikan masalah kalalah. Maka ia memanggil Huzaifah dan menanyakan tentang makna ayat tersebut. Huzaifah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah mengajarkannya kepadaku, lalu aku mengajarkannya kepadamu, sebagaimana aku menerimanya dari Rasulullah. Demi Allah, aku benar-benar jujur. Demi Allah, aku sama sekali tidak menambahkan sesuatu pun dari hal itu."
Kemudian Al-Bazzar mengatakan, "Dalam hadis ini kami tidak mengetahui seorang pun yang meriwayatkannya kecuali Huzaifah, dan kami tidak mengetahui hadis ini mempunyai jalur sampai kepada Huzaifah kecuali jalur ini. Tiada yang meriwayatkannya dari Hisyam, kecuali Abdul A'la."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Abdul A'la.
قَالَ عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَة: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الشَّيباني، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرّة، عَنْ سَعِيدٍ -[هُوَ] ابْنُ المسيَّب-أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُوَرّث الْكَلَالَةَ؟ قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ] } الْآيَةَ ، قَالَ: فَكَأَنَّ عُمَرَ لَمْ يَفْهَمْ. فَقَالَ لِحَفْصَةَ: إِذَا رَأَيْتِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طِيبَ نَفْس فَسَلِيهِ عَنْهَا، فَرَأَتْ مِنْهُ طِيبَ نَفْسٍ فَسَأَلَتْهُ عَنْهَا ، فقال: "أبوك ذكر لك هذا؟ ما أَرَى أَبَاكِ يَعْلَمُهَا". قَالَ: وَكَانَ عُمَرُ يَقُولُ: مَا أَرَانِي أَعْلَمُهَا، وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَالَ.
Usman ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Asy-Syaibani, dari Amr ibnu Murrah, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa Umar pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai warisan secara kalalah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). (An-Nisa: 176), hingga akhir ayat. Maka seakan-akan Umar kurang mengerti maknanya, lalu ia berkata kepada Hafsah, "Jika kamu melihat Rasulullah Saw. sedang dalam keadaan baik-baik, tanyakanlah masalah ini kepadanya." Pada suatu waktu Hafsah melihat Rasulullah Saw. sedang dalam keadaan senang hati, maka ia menanyakan masalah kalalah itu kepadanya. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, "Ayahmu yang menyuruhmu menanyakan masalah ini. Aku berpendapat bahwa ayahmu pasti tidak mengetahuinya." Tersebutlah bahwa Umar selalu mengatakan, "Aku pasti tidak mengetahuinya karena Rasulullah Saw. telah mengatakannya demikian."Ibnu Murdawaih meriwayatkannya, kemudian ia meriwayatkan lagi melalui jalur Ibnu Uyaynah, dari Umar ibnu Tawus, bahwa Umar menyuruh Hafsah menanyakan masalah kalalah kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. mengimlakan kepada Hafsah untuk ditulis pada sebuah tulang paha, lalu Nabi Saw. bersabda.
مَنْ أَمَرَكِ بِهَذَا؟ أَعُمَرُ؟ مَا أَرَاهُ يُقِيمُهَا، أَوَمَا تَكْفِيهِ آيَةُ الصَّيْفِ؟ "
"Siapakah yang menyuruhmu menanyakannya? Apakah Umar? Aku pasti menduga bahwa dia tidak dapat memahaminya dan dia tidak merasa puas dengan ayat saif."Sufyan berkata: Yang dimaksud dengan ayat saif ialah yang ada di dalam surat An-Nisa, yaitu firman-Nya:
{وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ}
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak. (An-Nisa: 12)Tatkala mereka menanyakan kalalah kepada Rasulullah Saw., turunlah ayat yang ada di akhir surat An-Nisa. Maka Umar meletakkan tulang paha tersebut Demikianlah yang dikatakannya (Umar ibnu Tawus) dalam hadis ini. Dengan demikian, berarti hadis ini mursal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Assam, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang menceritakan bahwa Umar mengambil tulang paha (yang ada catatannya), lalu ia mengumpulkan semua sahabat Rasulullah Saw. Kemudian ia berkata. ”Sesungguhnya aku akan memutuskan terhadap perkara kalalah dengan suatu keputusan yang kelak akan menjadi bahan pembicaraan kaum wanita di tempat pingitannya." Ketika itu juga muncul seekor ular dari rumah itu, maka mereka bubar. Umar berkata, "Seandainya Allah Swt. menghendaki untuk menyempurnakan urusan ini, niscaya Dia menyempurnakannya."
Sanad asar ini sahih.
Al-Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Uqbah Asy-Syaibani di Kufah, telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Talhah ibnu Yazid ibnu Rukanah menceritakan asar berikut dari Umar ibnul Khatib yang mengatakan, "Sesungguhnya jika aku menanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang tiga perkara, hal ini lebih aku sukai daripada ternak unta yang merah," yang dimaksud ialah menjadi khalifah sesudahnya.”Yaitu mengenai masalah suatu kaum yang mengatakan bahwa zakat dikurangi dari harta benda kami, dan kami tidak mau menunaikannya kepadamu, apakah boleh memerangi mereka? Masalah lainnya tentang kalalah"
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih sanadnya dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Kemudian Imam Hakim meriwayatkan asar ini dari Sufyan ibnu Uyaynah. dari Umar ibnu Murrah, dari Umar yang mengatakan: Ada tiga perkara jika Nabi Saw. berada di antara semuanya bagi kami, niscaya lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya, yaitu khilafah, kalalah, dan masalah riba.
Kemudian Imam Hakim mengatakan asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Masih dalam asar yang sama sampai kepada Sufyan ibnu Uyaynah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sulaiman Al-Ahwal menceritakan sebuah asar dari Tawus yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan, aku adalah orang yang paling akhir bersua dengan Umar, maka aku pernah mendengarnya mengatakan perkataan seperti yang kamu katakan itu. Aku (Tawus) bertanya, "Apakah yang telah kukatakan?" Sulaiman Al-Ahwal menjawab, "Engkau telah mengatakan bahwa kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak."
Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat keduanya (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur Zam'ah ibnu Saleh, dari Amr ibnu Dinar dan Sulaiman Al-Ahwal, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang paling akhir bersua dengan Umar ibnul Khattab. Umar mengatakan bahwa ia pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar mengenai masalah kalalah. Sedangkan pendapat yang dikatakannya adalah seperti pendapatmu. Disebutkan bahwa Umar mempersekutukan dalam hal mewaris antara saudara-saudara lelaki seibu seayah dengan saudara-saudara lelaki seibu dalam sepertiga, bila mereka semuanya berkumpul dalam suatu warisan. Tetapi Abu Bakar r.a. berpendapat berbeda.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid Al-Umra, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa Khalifah Umar menulis suatu masalah sehubungan dengan masalah kakek dan kalalah ke dalam suatu catatan, lalu ia beristikharah kepada Allah seraya mengatakan, "Ya Allah, jika Engkau mengetahui dalam masalah ini ada kebaikan, maka langsungkanlah." Ketika ia ditusuk, sambil kesakitan menahan lukanya yang parah ia memerintahkan agar catatannya itu diberikan kepadanya, lalu ia menghapus catatannya, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui apa isinya. Lalu ia berkata, "Sesungguhnya aku pernah menulis suatu catatan sehubungan dengan masalah kakek dan kalalah, lalu aku beristikharah kepada Allah mengenainya, akhirnya aku berpendapat membiarkan kalian seperti apa yang kalian jalankan sekarang."
Ibnu Jarir mengatakan, telah diriwayatkan dari Umar r.a. bahwa ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku merasa malu bila berselisih pendapat dalam masalah ini dengan Abu Bakar." Tersebutlah bahwa Abu Bakar r.a. mengatakan bahwa kalalah itu ialah ahli waris selain anak dan ayah.
Pendapat yang dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq ini dijadikan pegangan oleh jumhur sahabat, tabi'in dan para imam sejak zaman dahulu hingga sekarang. Pendapat ini merupakan pegangan mazhab yang empat, ahli fiqih yang tujuh orang, dan pendapat para ulama di kota-kota besar. Pendapat inilah yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan dijelaskan melalui firman-Nya:
{يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 176)
Tidak ada komentar
Posting Komentar