Pertama
Bulan Dzulqa’dah termasuk bulan haram, sebagaimana telah disebutkan. Bulan haram atau disebut juga bulan yang disucikansebagaimana yang disebutkan oleh At-Thabari dalam kitab tafsirnyaialah bulan yang dijadikan oleh Allah sebagai bulan yang suci lagi diagungkan kehormatannya.
Di mana di dalamnya amalan-amalan yang baik akan dilipatgandakan pahalanya, sedangkan amalan-amalan yang buruk akan dilipatgandakan dosanya. Dzulqa’dah mempunyai keistimewaan karena di dalamnya Allah melarang manusia untuk berperang.
Di dalam Dzulhijjah manusia mempersiapkan diri untuk melaksanakan manasik haji. Pada bulan Muharram mereka kembali ke negeri mereka masing-masing. Sedangkan pada bulan Rajab, orang-orang dari berbagai pelosok negeri yang datang ke Baitullah kembali ke negeri mereka dalam keadaan aman.
Kedua
Di antara keutamaannya, Bulan Dzulqa’dah juga merupakan salah satu dari bulan-bulan haji (asyhrul hajj) yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui…” (Qs. al-Baqarah: 197).
Dalam Tafsir Ibni Katsir (II/5, 356) dikemukakan bahwa asyhur ma’lumaat (bulan-bulan yang telah diketahui) merupakan bulan yang tidak sah ihram untuk menunaikan haji kecuali pada bulan-bulan ini. Dan ini pendapat yang benar (sahih).
Ketiga
Di antara keistimewaan bulan Dzulqa’dah, bahwasannya pada bulan ini Rasulullah menunaikan ibadah umrah hingga empat kali, dan ini termasuk umrah beliau yang diiringi ibadah haji.
Meskipun ketika itu beliau berihram pada bulan Dzulqa’dah dan menunaikan umrah tersebut di bulan Dzulhijjah bersamaan dengan haji (Lathaa-iful Ma’aarif, karya Ibnu Rajab).
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah sebanyak empat kali, semuanya di bulan Dzulqa’dah, kecuali umrah yang dilakukan bersama hajinya. Empat umrah itu adalah umrah Hudaibiyah di bulan Dzulqa’dah, umrah tahun berikutnya di bulan Dzulqa’dah, …(HR. Al Bukhari).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwasannya menunaikan umrah di bulan-bulan haji sama halnya dengan menunaikan haji di bulan-bulan haji. Bulan-bulan haji ini dikhususkan oleh Allah SWT dengan ibadah haji, dan Allah mengkhususkan bulan-bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya.
Sementara umrah merupakan haji kecil (hajjun ashghar). Maka, waktu yang paling utama untuk umrah adalah pada bulan-bulan haji. Sedangkan Dzulqa’dah berada di tengah-tengah bulan haji tersebut (Zaadul Ma’aad II/96).
Karena itu, terdapat riwayat dari beberapa ulama Salaf bahwa mereka suka menunaikan umrah pada bulan Dzulqa’dah (Lathaa-iful Ma’aarif hal. 456). Akan tetapi, ini tidak menunjukkan bahwa umrah di bulan Dzulqa’dah lebih utama dari pada umrah di bulan Ramadan. Karena telah jelas dalil-dalil tentang besarnya keutamaan umrah di bulan Ramadan sebagaimana yang telah dijelaskan (lihat juga Zaadul Ma’aad II/95-96).
Keempat
Di antara keistimewaan lain dari bulan Dzulqa’dah, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji kepada Nabi Musa ‘alaihis salam untuk berbicara dengannya selama tiga puluh malam di bulan Dzulqa’dah, ditambah sepuluh malam di awal bulan Dzul Hijjah berdasarkan pendapat mayoritas para ahli tafsir (Tafsir Ibni Katsir II/244), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (untuk memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi)…” (Qs. al-A’raaf: 142).
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Muhammad Hariyadi MA
Dzulqadah merupakan salah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah SWT melebihi bulan-bulan lainnya di luar Ramadhan. Kemuliaan empat bulan tersebut (Dzulqaah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) merupakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sejak zaman ajali.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram (yang dimuliakan). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semua. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa." (QS. At-Taubah: 36).
Disebabkan oleh kenyataan bahwa alam semesta dan bahkan jiwa manusia adalah milik Allah SWT, maka Allah lah yang berhak menetapkan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya, tanpa harus mempertimbangkan reaksi dari para makhluknya. Allah misalnya berkehendak merubah kiblat kaum muslimin dari Bait Al-Maqdis ke Ka'bah dan menegaskan ketaatan atasnya merupakan bentuk ketundukan pada hukum Allah, kendati reaksi besar muncul dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. (QS. Al-Baqarah: 144).
Allah juga berhak memindahkan medan kenabian utama dari daerah Yerussalem ke Makkah dan mengutus Rasul terakhir di tempat yang semula tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya, yang dalam perkembangannya daerah tersebut menjadi pusat peradaban dan perhatian semua manusia di bumi. (QS. Al-Baqarah: 151). Demikian pula dengan penetapan empat bulan sebagai bulan haram (mulia), yang tidak lain merupakan ketentuan yang telah ditetapkan Allah, baik manusia mampu mengungkap atau tidak mengetahui akan hikmah yang terkandung di dalamnya. (QS. At-taubah: 36).
Imam Al-Qurtubi mengaitkan kemuliaan tiga bulan haram yang berturut-turut (Dzulqadah, Dzulhijjah dan Muharram) dengan eksistensi Ka'bah sebagai tempat yang aman dan jaminan penciptaan keamanan bagi semua orang terhadap sesamanya yang terdapat di dalamnya atau di sekitarnya.
Sehingga kemuliaan tiga bulan berturut-turut sesungguhnya terletak pada payung keamanan yang diberikan oleh Allah SWT (dengan diharamkannya kaum muslimin berperang kecuali untuk mempertahankan diri) guna mendukung keamanan internal yang terdapat di dalam Majidil Haram.
Lebih jelasnya Ibnu Katsir menegaskan bahwa pemuliaan tiga bulan berturut-turut itu berkaitan dengan jaminan keamanan yang diberikan Allah SWT agar manusia aman dan nyaman dalam menjalankan ibadah haji dan umrah sejak berangkat hingga kembali ke negaranya masing-masing.
Yaitu pertama: dengan mengharamkan peperangan satu bulan sebelum bulan haji (Dzulqadah) agar mereka yang berada di luar kota Makkah terjamin keamanan perjalanannya hingga tiba di Makkah dengan selamat. Kedua, pengharaman peperangan di bulan Dzulhijjah yang merupakan bulan pelaksanaan ibadah haji. Dan ketiga, pengharaman peperangan satu bulan sesudah pelaksanaan ibadah haji (Muharram) agar mereka yang selesai menunaikan ibadah haji dapat kembali ke negaranya dengan aman dan selamat.
Pihak yang merancang dan mensyariatkan rancangan besar itu adalah Allah SWT, sehingga mereka yang tidak menaati apalagi menciptakan kondisi instabilitas pada bulan-bulan tersebut adalah orang-orang zalim, yaitu orang-orang yang telah melampaui batas dari ketetapan yang digariskan oleh Allah SWT.
Mereka sekilas bebas berbuat kezaliman kepada pihak lain, namun pada hakekatnya mereka berbuat kezaliman pada diri sendiri sebab kebebasan mereka di dunia hanyalah kebebasan semu sebatas mur manusia. Sementara akibat perbuatan tersebut, akan mereka pertanggung jawabkan dalam kehidupan akhirat yang sifatnya abadi dan selama-lamanya.
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar
Posting Komentar