Apa betul Nabi SAW yang mempermudah perkara sulit?
Apa benar Muhammad yang menghilangkan kesusahan?
Apa betul Beliau yang memenuhi segala kebutuhan?
Dan apa karena Nabi juga semua keinginan bisa tercapai?
Bukankah semua itu kuasa Allah SWT semata!
Hanya Allah yang berkuasa atas apa yang tersebut di atas. Bukan Muhammad. Jadi, kenapa ada bacaan shalawat yang maknanya seperti itu?!
Tidakkah itu mengandung unsur syirik?
Demikian kiranya unsur syirik yang mereka maksud dalam redaksi kalimat shalawat.
Sebagai umat nabi Muhammad, sepatutnya kita menjadikan beliau sebagai panutan serta suri tauladan dalam kehidupan ini. Nabi muhammad SAW sangat layak, bahkan mungkin wajib kita cintai.
Hal ini setidaknya karena dua hal. Karena kecintaan nabi kepada kita umatnya yang bahkan masih terus beliau dengungkan hingga menjelang ajal. Maka wajar jika kita juga mencintai beliau. Kita sambut kecintaan beliau dengan kecintaan tulus pula.
Orang bilang ini adalah cinta bersambut.
Sedangkan alasan lain kenapa kita wajib mencintai nabi adalah karena kecintaan kita kepada beliau merupakan kunci keberhasilan dalam menjalankan hidup, baik di Dunia maupun di Akhirat kelak. Karena dengan kecintaan kita kepada nabi –dengan makna cinta yang positif- secara tidak langsung kita akan bisa mengikuti ajaran atau risalah yang beliau emban.
Ajaran atau risalah nabi yang merupakan wahyu ilahi inilah yang selanjutnya menjadi petunjuk bagi kita dalam meniti jalan yang luru, atau shirat al-mustaqim.
Untuk alasan ini, tidak sedikit ulama terdahulu meluapkan kecintaan mereka pada nabi, bahkan dengan desahan nafas mereka. Tidak jarang dalam kesendirian, mereka merasakan kehadiran nabi.
Dalam kediaman mereka, tidak jarang bibir spontan melafatkan kalimat pujian akan nabi muhammad. Maka tidak heran dari ulama-ulam seperti ini, tercipta sebuah lantunan shalawat yang maknanya sangat mendalam. Kalimat-kalimat yang tercipta dari luapan kecintaan hati kepada baginda nabi Muhammad SAW.
Kalimat-kalimat tersebut lantas kita sebut dengan shalawat. Ada shalawat al-Fatih, Nariyyah dan shalawat-shalawat lainnya.
Iya, shalawat seperti al-Fatih, Nariyyah dan sejenisnya ini lantas menjadi satu simbul bacaan bagi kaum muslim yang berusaha menunjukkan kecintaan mereka kepada nabi.
Bacaan shalawat-shalawat tersebut bahkan menjadi semacam "amalan wajib" bagi sebagian aliran thariqah. Ada Qadiriyyah-Naksabandiyyah, ada Tijaniyyah, ada Sadziliyyah dan banyak lagi tariqah lainnya.
Para pengikut tariqah tersebut begitu lancar dan fashih melafatkan bacaan shalawat yang menjadi amalan harian mereka.
Hanya saja, dan ini yang mungkin perlu difahami bersama, kalimat-kalimat shalawat tersebut tercipta melalui bahasa hati. Terangkum dengan luapan kecintaan pera ulama yang mengarangnya terhadap rasul. Jadi ia bukan kalimat pujian berbahasa Arab biasa.
Untuk bisa memahaminya, perlu menghadirkan hati. Kalimat-kalimat tersebut tidak cukup hanya diterjemahkan dengan bahasa lisan, dengan pemaknaan kata perkatanya semata. Karena jika hal ini terjadi, yang terkesan justru kalimat-kalimat tersebut mengandung unsur syirik.
Karena memaknai kalimat shalawat dengan terjemahan leterleg inilah, para pengamal bacaan shalawat mendapat kritikan tajam dari kelompok muslim yang terang-terangan menolak bacaan-bacaan shalawat tadi.
Alasannya itu tadi, para pengkritik ini tidak atau belum bisa memaknai kalimat shalawat dengan hati.
Mereka menterjemahkan shalawat dari terjemahan sempit.
Sebagai contoh, berikut sebagian redaksi kalimat shalawat Nariyyah:
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتنفرج به القرب وتقضى به الحوائج وتنال به الرغائب
"Ya Allah, limpahkan shalawat dan salam atas nabi Muhammad yang karenanya (nabi Muhammad) terurai segala ikatan, semua kesusahan jadi hilang, segala kebutuhan bisa terpenuhi, semua keinginan bisa tercapai...."
Perhatikan redaksi kalimat yang di-bold. Bagi pengkritik shalawat Nariyyah, makna bacaan tersebut dianggap mengandung unsur syirik.
Apa betul nabi yang mempermudah perkara sulit?
Apa benar Muhammad yang menghilangkan kesusahan?
Apa betul Beliau yang memenuhi segala kebutuhan? Dan apa karena nabi juga semua keinginan bisa tercapai?
Bukankah semua itu kuasa Allah semata! Hanya Allah yang berkuasa atas apa yang tersebut di atas. Bukan Muhammad. Jadi, kenapa bacaan shalawat seperti itu?!
Demikian kiranya unsur syirik yang mereka maksud, setidaknya sebagaimana terkutip dalam akun facebook yang menamakan akunnya: PECINTA SUNNAH PEMBENCI BID'AH MENITI JEJAK SHALAFUS SHALIH.
Serupa dengan redaksi shalawat Nariyyah, dalam shalawat al-Fatih juga tidak luput dari kecaman kelompok ini.
Apa betul Muhammad yang membuka segala hal yang terkunci (الفاتح لما أغلق)?, penutup dari apa yang telah lalu (الخاثم لما سبق)?
Penolong kebenaran dengan kebenaran (ناصر الحق بالحق)?
Dan apa Muhammad juga yang memberi hidayah/ petunjuk kejalan yang lurus (الهادي إلى صراطك المستقيم)?
Bukankah semua itu juga kuasa Allah semata?!
Kalimat-kalimat tersebut, jika diterjemahkan secara kasat mata, sepintas memang nampak unsur syirik. Bahkan penulis pun pernah beranggapan demikian. Tapi setelah sekian lamanya berusaha memahami maknanya, sambil lalu tetap berkeyakinan bahwa tidak mungkin ulama-ulama yang karena kecintaan mereka kepada nabi akan menghasilkan ajaran syirik, penulis lantas menemukan jawaban realistis.
Mula-mula, mari kita cermati satu hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
Bagi muslim Sunni (Ahlussunnah waljama'ah), tidak mungkin meragukan keabsahan hadis dari Abu Hurairah. redaksi hadis kurang lebih demikian:
قال رسول الله: إن الله تعالى قال: من عاد لي وليا فقد أذنته بالحرب، وما تقرب عبدي بشيئ أحب إليّ مما افترضته عليه، وما يزال عبدي يتقرب إليّ بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به، وبصره الذي يبصر به، ويده التى يبطش بها، ورجله التى يمشي بها، وإن سألنى لأعطينه، ولئن استعاذني لأعيذنه
"Rasul bersabda: Allah SWT berfirman: Barang siapa yang memusuhi wali (kekasih)Ku, maka Aku mengizinkannya untuk diperangi. Tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan tetap saja hamba-Ku (berusaha) lebih mendekati Aku dengan ibadah-ibadah sunnah, hingga Aku mencintainya. Dan jika sampai Aku telah mencintai hamba-Ku, maka Aku akan menjadi pendengarannya, yang bisa digunakan hambaku untuk mendengar; Aku menjadi penglihatannya untuk digunakannya melihat; menjadi tangannya untuk memegang; menjadi kakinya untuk berjalan; dan jika dia meminta, pasti akan Aku beri; dan ketika dia memohon perlindungan, pasti akan Aku lindungi"
Kesimpulan hadis di atas, seorang hamba yang sudah menjadi kekasih Allah, segala urusannya menjadi urusan Allah. Jika pengelihatan seseorang sudah menjadi pengelihatan Allah, adakah sesuatu yang tidak nampak baginya?
Jika tangan seseorang telah dianggap "tangan Tuhan", adakah perkara yang tidakk bisa ditanganinya?
Adakah keinginan kekasih Allah yang tidak bisa tercapai?
Semuanya akan dibantu langsung oleh Allah.
Demikian makna hadis di atas.
Sampai disini, mungkin masih tersisa pertanyaan: Apa hubungan antara hadis ini dengan bacaan shalawat tadi?
Di mana korelasi kalimat yang bernada syirik dalam shalawat tadi dengan jaminan Allah bagi hambanya yang telah menjadi kekasih (wali) Allah?
Bukankah segala kesulitan jadi mudah, kesusahan jadi hilang, kebutuhan terpenuhi, terbuka segala sesuatu yang terkunci, semuanya bisa teratasi jika seorang hamba menjadi kekasih Allah.
Aha, pada titik inilah peran nabi Muhammad nampak. Peran beliau ini bukan bualan para ulama. Bukan ocehan para perawi hadis, tapi justru Allah sendiri yang menampakkan peran rasul untuk jalan menjadi kekasih Allah.
Hal ini ditegaskan langsung dalam Al-Qur'an, di surah Ali Imran:
31:
قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحييكم الله ويغفر لكم ذنوبكم والله غفور رحيم
"Katakan (hai Muhammad kepada manusia), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (nabi Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian, dan mengampunkan segala dosa-dosa kalian, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
Sampai di sini jelas sudah, bahwa kunci menjadi kekasih Allah yang keistimewaannya telah dijelaskan di atas, adalah dengan cara mengikuti jejak rasul, dan mengamalkan sunnah-sunnahnya.
Dan tidaklah mungkin kita bisa mengikuti jalan rasul jika kita tidak mencintai beliau. Artinya, kita bisa menjadi kekasih Allah setelah kita mampu menjadi kekasih rasul. Mustahil bisa langsung menjadi kekasih Allah tanpa menyandang kekasih rasul.
Nabi Musa saja yang hanya ingin melihat Allah tidak kuasa, apa lagi kita! Bukankah sepasang kekasih saling bermesraan?! Lantas, jika melihat saja tidak bisa, bagaimana mau bermesraan?!
Maka, ungkapan-ungkapan "mesra" dalam shalawat tadi adalah wujud kemesraan hati para ulama terdahulu kepada rasul. Ujung-ujungnya, sebenarnya mereka juga "bermesraan" dengan Allah. Karenanya, hakekat yang "pembuka segala yang terkunci", "penghilang kesusahan", "pemudah segala hal yang sulit", semua itu hakekatnya kembali kepada Allah. Allah lah yang berkuasa melakukan segala urusan tadi. Tapi, dengan perantaraan kita mencintai Rasulullah.
Wallahu A'lam bissawab...
Dengan alasan ini, masihkah kita akan menyalahkan mereka pencipta kalimat-kalimat mesra (shalawat) sebagai pembuat ajaran yang mengandung unsur syirik???
Zulfan Syahansyah, aktifis pesantren dan pengamal bacaan shalawat, pengurus di Pondok Pesantren Al-Munawwariyyah Malang
Tidak ada komentar
Posting Komentar