Ubay bin Ka'ab
Miqdad bin Amr Al Aswad
Ubaidah bin Harits
Utbah Bin Ghazwan
Utbah bin Ghazwan adalah sahabat muhajirin, dan termasuk dalam kelompok awal yang memeluk Islam (As sabiqunal awwalin). Ia sempat berhijrah ke Habasyah karena begitu kerasnya tekanan dan siksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy. Walau suasana tenang dan terlindungi untuk beribadah di sana, tetapi ia memilih untuk kembali ke Makkah karena kerinduannya kepada Nabi SAW. Tidak masalah kalau hari-harinya dalam kesulitan, siksaan dan teror asal setiap saat ia bisa bertemu dan bergaul dengan Nabi SAW.
Seperti kebanyakan sahabat Nabi SAW dalam kelompok as sabiqunal awwalin, Utbah tidak ingin tertinggal dalam perjuangan menegakkan panji-panji Islam bersama Nabi SAW. Pola hidupnya juga tak jauh berbeda dengan beliau, tekun beribadah, menjauhi kemewahan hidup duniawiah dan tidak mencari jabatan. Dalam kebanyakan pertempuran yang diterjuninya, ia hanyalah seorang prajurit biasa yang mempunyai keahlian dalam memanah dan melemparkan tombaknya.
Tipikal orang-orang seperti Utbah itulah yang dicari oleh khalifah Umar untuk mendukung pemerintahannya. Tidak ayal lagi, Umar memilih Utbah bin Ghazwan untuk memimpin pasukan untuk menaklukan kota Ubullah, sebuah daerah di perbatasan yang sering dijadikan batu loncatan tentara Persia untuk menyerang wilayah Islam. Pada mulanya Utbah menolak keras menjadi pemimpin, dan lebih memilih menjadi prajurit biasa dalam pasukan itu. Tetapi keputusan Umar memang tidak bisa ditawar lagi, sehingga ia berangkat dalam pasukan itu sebagai komandan untuk pertama kalinya.
Ternyata tidak terlalu sulit bagi Utbah menaklukan Ubullah, karena penduduknya sendiri lebih banyak mendukung kedatangan pasukan muslim, sehingga lebih mudah mengalahkan dan mengusir pasukan Persia dari wilayah tersebut. Memang, pasukan Persia selama itu lebih banyak menyengsarakan penduduk Ubullah daripada melindunginya. Di tempat tersebut, Utbah dan pasukannya dengan didukung penduduk setempat melakukan pembangunan kota, tentunya dengan bercirikan keislaman dengan masjid besar menjadi pusat kotanya. Kota ini kemudian dikenal dengan nama Bashrah, dan secara otomatis Utbah menjadi wali negerinya.
Setelah pemerintahan berjalan lancar, Utbah bermaksud kembali ke Madinah dan menyerahkan kendali kota kepada sahabat-sahabatnya. Sungguh, jabatan yang dipegangnya itu membuat hidupnya tidak nyaman. Apalagi perkembangan kota yang dipimpinnya makin pesat saja, seolah menjadi "pesaing" kemewahan yang ditampilkan oleh kota-kota lainnya di wilayah Persia. Jiwa zuhud, wara dan sederhana sebagai hasil didikan Nabi SAW seolah memaksanya untuk "melarikan-diri" dari semua itu. Tetapi ketika ia mengajukan pengunduran diri dari jabatannya, khalifah Umar menolak, bahkan menentang keras keputusannya. Terpaksalah Utbah menjalankan lagi tugasnya tersebut.
Utbah bin Ghazwan menyibukkan dirinya dengan membimbing penduduk Bashrah tentang kewajiban-kewajiban agama, menjalankan ibadah, menegakkan hukum dengan adil, dan tentu saja yang tidak ketinggalan, menerapkan jiwa zuhud, wara dan sederhana dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tentu saja sikapnya ini tidak seratus persen mendapat dukungan, bahkan penentangan secara terang-terangan kadang terjadi. Karena itu ia sering berkata, "Demi Allah, sesungguhnya telah kalian lihat aku bersama Rasulullah SAW, sebagai salah seorang dari kelompok tujuh, yang tidak punya makanan kecuali hanya daun-daun kayu, sehingga bagian dalam mulut kami menjadi pecah-pecah dan luka."
Ia juga pernah berkata, "Suatu hari aku memperoleh hadiah baju burdah dari Nabi SAW, dan baju itu kupotong jadi dua. Sepotong untuk dipakai Sa'ad bin Malik dan sepotong untukku sendiri…..!!"
Begitulah cara Utbah mengajarkan pola hidup yang dipeganginya, semuanya disandarkan dan dikembalikan kepada Nabi SAW. Tentu, bagi pemeluk Islam belakangan yang tidak sempat hidup bersama Rasulullah SAW, dan tidak mengalami masa-masa sulit mempertahankan keimanan dan keislaman, hal-hal tersebut terasa mustahil, seperti dongeng saja dan bukan kenyataan. Bagaimanapun juga, suasana dan pengaruh magnetis yang dipancarkan dari sosok Nabi SAW bisa memotivasi seseorang berbuat sesuatu yang di luar nalar, seolah di bawah kendali kekuatan ghaib yang bernama keimanan.
Orang-orang tersebut terus mendorongnya untuk merubah pola hidupnya, dan seakan ingin menyadarkan kedudukannya sebagai seorang penguasa muslim. Keteguhan sikapnya dalam zuhud dan kesederhanan seolah-olah mencoreng ‘nama-baik’ Islam di antara penguasa lainnya seperti Persia dan Romawi. Tetapi dengan tegas Utbah berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari sanjungan orang-orang terhadap diriku karena kemewahan duniawi, yang sesungguhnya nilainya sangat kecil di sisi Allah…!!"
Ketika tampak sekali ekspresi wajah-wajah tidak sepakat dengan pendiriannya tersebut, ia berkata lagi, "Besok atau lusa, kalian akan menjumpai dan melihat amir (yang kalian inginkan itu), menggantikan diriku!"
Pada suatu musim haji, ia menyerahkan pimpinan pemerintahan Bashrah kepada sahabatnya dan ia pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Usai haji, ia pergi ke Madinah dan menghadap Khalifah Umar, dan mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan wali negeri Bashrah. Tetapi seperti bisa diduga, Umar menolak dengan tegas keinginannya tersebut, dengan ucapannya yang sangat terkenal, "Apakah kalian membai'at aku dan menaruh amanat khilafah di pundakku, kemudian kalian meninggalkanaku dan membiarkan aku memikulnya seorang diri? Tidak, demi Allah tidak kuizinkan kalian melakukan itu!!"
Kalaulah tipikal amir atau wali negeri itu suka bermewah-mewahan dengan harta duniawiah, tidak perlu diminta, Umar akan segera memecatnya seperti terjadi pada Muawiyah ketika menjabat amir di Syam. Terpaksalah Utbah harus meninggalkan Madinah, kota Nabi SAW yang selalu menjadi kerinduannya, dan kembali ke Bashrah yang justru sangat ingin dihindarinya karena harus memegang jabatan wali negeri di sana. Tampak keresahan dan kegamangan melingkupi wajahnya. Sebelum menaiki tunggangannya, ia menghadap kiblat dan berdoa, "Ya Allah, janganlah aku Engkau kembalikan ke Bashrah, janganlah aku Engkau kembalikan kepada jabatan pemerintahan selama-lamanya….!!"
Ternyata Allah SWT mengabulkan permintaannya. Walaupun ia tidak mengingkari perintah khalifah Umar untuk kembali ke Bashrah, tetapi dalam perjalanan kembali tersebut, Allah berkenan memanggilnya ke haribaan-Nya, menghindarkan dirinya dari kegalauan dan keresahan jiwa karena memegang jabatan wali negeri. Sebagian riwayat menyebutkan ia terjatuh dari tunggangannya ketika belum jauh meninggalkan kota Madinah. Tampaknya ia tidak ingin dipisahkan lagi dari Rasulullah SAW terlalu jauh.
Mush'ab bin Umair
Lahir: 585 M, Mekkah, Arab Saudi
Meninggal: 625 M, Gunung Uhud, Madinah, Arab Saudi
Pasangan: Hammanah bint Jahsh
Anak: Muhammad ibn Mus`ab ibn `Umair, Abdullah ibn Mus`ab ibn `Umair
Orang tua: Umair ibn Hashim, Khunaas Bint Maalik
Mus'ab bin Umair berasal dari keturunan bangsawan dari suku Quraisy. Ia adalah salah satu sahabat yang pertama dalam memeluk Islam setelah Nabi Muhammad SAW
Mus'ab bin Umair diutus oleh Nabi Muhammad SAW
Utsman Bin Mazh'un
Pada awal keislamannya, ia pernah berhijrah ke Habasyah sampai dua kali untuk menghindari siksaan kaum kafir Quraisy.
Ketika berhembus kabar bahwa orang-orang Quraisy telah menerima Islam, ia kembali ke Makkah. Tetapi ternyata itu hanya kabar bohong, bahkan mereka telah bersiap untuk menangkap dan menyiksa para sahabat yang baru kembali dari Habasyah tersebut.
Untung bagi Utsman, pamannya Walid bin Mughirah (ayah Khalid bin Walid
Utsman bebas bergerak dan berjalan dimana saja di Makkah karena perlindungan Walid tersebut, tetapi ia melihat kaum muslimin lainnya dalam ketakutan, sebagian dalam derita penyiksaan. Ia jadi merasa tidak nyaman walau dalam keamanan, karena itu ia mengembalikan jaminan perlindungan pamannya tersebut, sehingga bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh saudara muslim lainnya. Ketika Walid menanyakan alasannya, ia berkata, "Aku hanya ingin berlindung kepada Allah dan tidak suka kepada yang lain-Nya…"
Suatu ketika ia melewati majelis orang kafir Quraisy yang sedang mendengarkan lantunan syair dari seorang penyair bernama Labid bin Rabiah. Seperti biasanya, para hadirin akan memberi applaus. Utsman bin Madz’un ikut memberi applaus ketika Labid menyampaikan salah satu baitnya, "Ingatlah, segala sesuatu selain Allah akan binasa."
Labidpun meneruskan bait syairnya, "Dan semua nikmat niscaya pasti sirna."
Spontan Utsman berteriak, "Dusta…!! Nikmat surga tidak akan pernah sirna…"
Mendengar ada orang yang membantah syairnya, Labid jadi marah, ia meminta agar orang Quraisy bertindak karena ada yang mulai berani merusak forum mereka. Seseorang bangkit untuk memukul Utsman, tetapi ia membalas pukulannya tersebut, akibatnya salah satu matanya bengkak karena terpukul.
Pamannya, Walid bin Mughirah, yang berada di sebelahnya berkata, “Kalau saja engkau masih berada dalam perlindunganku, matamu tidak akan mendapat musibah seperti itu!!”
Mendengar komentar pamannya itu, Utsman justru menjawab dengan semangat, "Bahkan aku merindukan ini terjadi padaku, dan mataku yang satunya menjadi iri dengan apa yang dialami oleh saudaranya. Aku berada dalam perlindungan Dzat yang lebih mulia daripada kamu!"
Ketika telah tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh'un meninggal karena sakit, tidak gugur dalam pertempuran sebagai syahid. Hal ini sempat menimbulkan prasangka yang buruk, bahkan Umar bin Khaththab
Persangkaan seperti itu terus bersemayam dalam pikiran banyak orang sampai akhirnya Nabi Muhammad SAW
Umar-pun berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling mulia di antara kita telah meninggal dunia."
Prasangka seperti itupun jadi hilang, mereka tidak lagi memandang remeh kematiannya yang tidak dibunuh atau syahid di medang perang.
Dan hal itu makin menguat ketika Khalifah Abu Bakar
Kali ini Umar berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling baik di antara kita telah meninggal dunia."
Utsman merupakan sahabat yang pertama meninggal di Madinah dan orang muslim pertama yang pertama kali dimakamkan di Baqi.
Beberapa waktu kemudian putri Nabi SAW yang juga istri Utsman bin Affan
Ummu Aiman
Ummu Aiman mengasuh Muhammad sampai usia dewasa.
Dia dimerdekakan setelah Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, kemudian dinikahi oleh ’Ubaid bin Al-Harits dari suku Khazraj.
Dari pernikahannya dengan ’Ubaid, lahirlah Aiman. Aiman ikut hijrah dan berjihad bersama Muhammad dan gugur sebagai syahid dalam Perang Hunain.
Nabi Muhammad SAW sangat menghormati Ummu Aiman. Suatu ketika dia mengunjunginya dan berkata, ”Wahai Ibu!”
Dia juga pernah berkata, ”Wanita ini adalah anggota keluargaku yang masih tersisa.”
Pada kesempatan lain dia juga pernah berkata, ”Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku (wafat).”
Ummu Aiman mengasuh Muhammad kecil dengan penuh kelembutan. Setelah Muhammad diangkat menjadi rasul, dia pernah berkata, ”Barang siapa yang ingin menikah dengan wanita ahli surga, maka hendaklah ia menikahi Ummu Aiman.”
Mendengar sabda Nabi SAW, Zaid bin Haritsah segera menikahinya. Dari pernikahannya dengan Zaid, lahirlah Usamah bin Zaid, lelaki kesayangan Muhammad.
Ketika Allah memerintahkan kaum muslim untuk hijrah ke Madinah, Ummu Aiman termasuk angkatan pertama yang turut hijrah ke Madinah.
Dia melakukan hijrah dengan berjalan kaki, tanpa bekal, dan dalam keadaan puasa walaupun cuaca saat itu sangat panas, sehingga ia mengalami kehausan yang sangat.
Selanjutnya, Allah memberikan kemurahan kepadanya dengan menurunkan dari langit satu timba air dengan tali timba yang berwarna putih. Dia pun meminumnya sampai puas.
Dalam sebuah riwayat, Ummu Aiman berkata, “Sesudah minum air itu, aku tidak merasakan haus lagi. Meskipun aku berpuasa di tengah hari yang biasanya aku merasa haus, kini aku tidak merasakan haus setelah minum air itu. Sejak saat itu, jika aku berpuasa pada hari yang sangat panas, aku tidak pernah merasakan haus."
Nabi Muhammad SAW memperlakukan Ummu Aiman layaknya ibu dia sendiri.
Suatu saat Ummu Aiman mendatangi dia dan berkata, ”Wahai Rasulullah, bawalah aku.”
Rasulullah berkata, ”Aku akan membawamu di atas anak unta.”
Ia berkata lagi, ”Wahai Rasulullah, anak unta tidak sanggup menahan bebanku. Aku tidak mau.”
Dia Rasulullah berkata lagi, ”Aku tidak mau membawamu, kecuali di atas anak unta."
Rasulullah memang ingin mencandai Ummu Aiman, karena setiap unta itu pastilah anak unta yang lain.
Begitulah Rasulullah, bahkan dalam bercanda pun, dia tetap mengatakan sesuatu yang benar.
Ummu Aiman adalah wanita yang cedal (susah berbicara). Suatu ketika Ummu Aiman datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Salaamun laa ’alaikum” (Semoga keselamatan tidak terlimpahkan kepadamu). Muhammad pun memaklumi ucapan salamnya itu, karena yang dia maksudkan sebenarnya adalah, ”Assalamu ’alaikum” (Semoga keselamatan tetap terlimpahkan kepadamu).
Di samping sifat-sifatnya yang terpuji, Ummu Aiman juga seorang wanita yang selalu ingin bergabung bersama pahlawan Islam dalam memerangi musuh-musuh Allah SWT untuk meninggikan kalimat-Nya, kendatipun usianya sudah tua. Dia ikut di medan perang Uhud. Di sana dia berusaha memanah sekuat kemampuannya, memberi minum pasukan yang kehausan, dan mengobati mereka yang terluka. Dia juga turut menyertai Muhammad dalam Perang Khaibar.
Setelah Muhammad wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar, ”Marilah kita mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana Muhammad juga pernah mengunjunginya.”
Namun mereka berdua mendapati Ummu Aiman sedang menangis. Abu Bakar dan Umar bertanya, ”Apa yang membuatmu menangis? Bukankah tempat di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya?”
Ummu Aiman menjawab, ”Aku menangis bukan karena tidak tahu bahwa tempat di sisi Allah adalah lebih baik bagi Muhammad. Aku menangis karena wahyu sudah terputus dari langit.”
Mendengar jawaban itu Abu Bakar dan Umar pun ikut menangis bersamanya.
Ummu Aiman wafat pada masa khalifah Utsman bin Affan, bertepatan 20 hari setelah wafatnya Umar. Semoga Allah mencurahkan rahmat-nya kepada Ummu Aiman, wanita yang berhijrah dengan berjalan kaki dalam keadaan puasa, inang pengasuh Muhammad.
Abdullah bin Abdul-Asad (Abu Salamah)
Nama aslinya adalah Abdullah bin Abdul-Asad (Arab:بن عبد الأسد عبد الله) adalah salah satu Sahabat Nabi Muhammad. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abdul Asad al-Makhzumi, terkenal dengan nama Abu Salamah, ia menderita luka-luka dalam perang Uhud dan menjadi seorang yang mati syahid.
Abu Salamah juga disusui oleh Thaubiyah, yang juga pernah menyusui Muhammad.
Ia bersama dengan istrinya Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayah merupakan sahabat yang awal memeluk agama Islam.
Mereka memiliki empat anak, yaitu Salama, Umar, Zainab, dan Durra.
Setelah meninggalnya Abdullah bin Abdul-Asad, Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayah menikah dengan Nabi Muhammad.
Abu Salamah pernah ikut hijrah ke Ethiopia, ia dikenal dengan keberanian dan kemahirannya menunggang kuda.
Abdullah Bin Rawahah
Abu Ubaidah Bin Jarrah
Amir bin Abdullah bin Jarrah atau lebih dikenal dengan nama Abu Ubaidah bin Jarrah, termasuk dalam golongan sahabat yang mula-mula memeluk Islam (as sabiqunal awwalun). Dan seperti kebanyakan sahabat yang memeluk Islam pada hari-hari pertama didakwahkan, Abu Bakar mempunyai peran penting dalam mempengaruhi keputusannya itu. Abu Ubaidah mengikuti hijrah ke Habasyah yang ke dua, tetapi tak lama kembali lagi ke Makkah karena ia merasa lebih nyaman berada dekat dengan Nabi SAW, walaupun mungkin jiwanya terancam. Ketika hijrah ke Madinah, Nabi SAW mempersaudarakannya dengan Sa'ad bin Mu'adz.Abu Ubaidah termasuk salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidupnya.
Ketika ia berba'iat memeluk Islam, tiga kata yang tertanam dalam benaknya, "Jihad fi Sabilillah". Semua pertempuran bersama Nabi SAW diikutinya. Diterjuninya perang Badar, yang pada dasarnya merupakan pertempuran melawan sanak kerabatnya sendiri, dan juga sahabat-sahabatnya di masa jahiliah. Semuanya itu menjadi ringan karena jiwanya telah terangkum dalam tiga kata tersebut. Bahkan ada salah satu riwayat, ia membunuh ayahnya sendiri dalam peperangan tersebut. Sebenarnya ia telah berusaha menghindari bentrok dengan ayahnya yang ada di fihak kaum kafir, kalaupun ayahnya harus terbunuh, bukanlah tangannya yang melakukannya. Tetapi ayahnya selalu mengikuti dan mengejarnya sehingga tidak ada pilihan lain selain melakukan perlawanan, sehingga akhirnya ia menewaskannya.
Ia sempat gelisah dengan apa yang dilakukannya, kemudian turunlah surah al Mujadalah ayat 22, yang membenarkan sikapnya, bahkan memuji keimanannya.
Dalam perang Uhud, Nabi SAW sempat mengalami kondisi kritis, diama beliau hanya dilindungi oleh Thalhah dan Sa'd bin Abi Waqqash, sementara pasukan Quraisy mengepung dengan maksud untuk membunuh beliau. Utbah bin Abi Waqqas melempar beliau dengan batu, hingga mengenai lambung dan bibir beliau. Abdullah bin Syihab memukul kening beliau dan akhirnya Abdullah bin Qamiah memukul bahu dan pipi beliau dengan pedang. Beliau memang memakai baju besi, tetapi akibat serangan tersebut, gigi seri beliau pecah, bibir dan kening terluka, bahkan ada dua potong besi dari topibaja yang menancap pada pipi beliau.
Beberapa sahabat berusaha membuka "jalan darah" mendekati posisi Nabi SAW untuk bisa memberikan perlindungan kepada beliau. Abu Bakar dan Abu Ubadiah yang paling cepat tiba, dan saat itu Thalhah telah tersungkur karena luka-lukanya. Tidak berapa lama, beberapa sahabat mulai berkumpul di sekitar Nabi SAW dan mengamankan keadaan beliau, termasuk seorang pahlawan wanita, Ummu Amarah (Nushaibah binti Ka'b al Maziniyah).
Melihat ada besi yang menancap di pipi Nabi SAW, Abu Bakar berniat untuk mencabut besi itu, tetapi Abu Ubaidah berkata kepada Abu Bakar, "Aku bersumpah dengan hakku atas dirimu, biarkanlah aku yang melakukannya…"
Abu Bakarpun membiarkan Abu Ubaidah melakukannya. Tetapi ia tidak mencabut besi itu dengan tangannya karena khawatir akan menyakiti Nabi SAW, ia menggigit besi itu dengan gigi serinya, dan menariknya perlahan. Besi itu terlepas, tetapi tanggal pula gigi Abu Ubaidah dan darahpun mengucur. Masih ada satu potongan besi lagi, karena dilihatnya Abu Ubaidah terluka, Abu Bakar berniat mencabutnya, tetapi sekali Abu Ubaidah berkata, "Aku bersumpah dengan hakku atas dirimu, biarkanlah aku yang melakukannya…"
Kemudian ia melakukannya sekali lagi dengan gigi serinya yang lain, kali inipun giginya tanggal bersama besi yang terlepas dari pipi Rasulullah SAW. Jadilah ia pahlawan besar yang giginya terlihat ompong jika sedang membuka mulutnya. Tetapi Abu Ubaidah justru membanggakan "cacatnya" tersebut, karena itu menjadi peristiwa bersejarah dalam hidupnya bersama Rasulullah SAW. Bahkan ia sangat ingin membawa "ompongnya" tersebut ke hadapan Allah SWT di hari kiamat sebagai hujjah kecintaan kepada Nabi SAW.
Sebelum peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Nabi SAW pernah mengirim Abu Ubaidah dengan sekitar tigaratus orang anggota pasukan untuk mengintai kafilah dagang Quraisy. Bekal yang diberikan beliau tidak lebih dari sebakul kurma, sehingga setiap orang hanya mendapat jatah segenggam kurma. Ketika perbekalan mereka habis, Abu Ubaidah memerintahkan pasukannya menumbuk daun kayu khabath dengan senjatanya sehingga menjadi tepung dan diolah menjadi roti, dan sebagian lagi makan daun-daunnya. Makanan yang sangat tidak layak sebenarnya, tetapi tidak ada pilihan lain, dan tugas harus tetap dilaksanakan.
Setelah beberapa hari dalam keadaan seperti itu, mereka tiba di pesisir pantai, dan tampak sebuah gundukan besar di sana. Setelah didekati ternyata sebuah ikan besar, sejenis ikan paus yang terdampar. Mereka menggunakan ikan tersebut sebagai bahan makanan selama hampir limabelas hari di sana, sehingga kembali sehat bahkan cenderung lebih gemuk dari sebelumnya. Saat pulang kembali, mereka membawa sisa-sisa daging ikan itu untuk perbekalan di perjalanan.
Ketika sampai di Madinah, Abu Ubaidah menceritakan pengalaman mereka kepada Nabi SAW, dan beliau berkata, “Itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepada kalian. Apakah masih ada sisa dagingnya untuk kami di sini?”
Mereka membagi-bagikan daging ikan yang masih ada tersebut, dan Nabi SAW ikut memakannya. Dan dalam sejarah peristiwa ini dikenal dengan nama "Ekspedisi Daun Khabath".
Pada tahun 9 hijriah, datang utusan dari Najran yang berjumlah enampuluh orang. Najran merupakan suatu wilayah yang luas di Yaman, memiliki seratus ribu prajurit yang bernaung di bawah bendera Nashrani. Sebagian dari utusan ini adalah para bangsawannya sebanyak 24 orang, dan para pemimpin kaum Najran sendiri sebanyak tiga orang. Mereka belum memeluk Islam, tetapi sempat melakukan diskusi dan perdebatan tentang Isa.
Allah menurunkan Surah Ali Imran 59-61, sehingga Nabi SAW menantang mereka untuk "mubahalah" sesuai dengan petunjuk wahyu yang turun tersebut. Tetapi utusan Najran tersebut tidak berani menerima tantangan Nabi SAW tersebut. Sedikit atau banyak ada juga keyakinan mereka bahwa Nabi SAW memang seorang Nabi, hanya saja mereka masih yakin juga akan ketuhanan Isa.
Mubahalah atau disebut juga mula’anah adalah proses di mana dua kelompok saling berdoa kepada Allah (atau Tuhannya masing-masing), yang doa itu diakhiri dengan permintaan kepada Allah (atau Tuhannya masing-masing), jika memang dirinya atau kelompoknya tidak benar, laknat Allah akan turun kepada mereka karena kedustaannya itu. Mungkin proses ini yang di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, diadopsi menjadi prosesi ‘sumpah pocong’, di mana dua orang saling menuduh dan menolak tuduhan, yang masing-masing tidak mempunyai bukti cukup kuat. Dan kedua belah pihak juga tidak bersedia mencabut atau membatalkan tuduhannya tersebut, masing-masing merasa benar sendiri.
Akhirnya, kaum Nashrani dari Najran itu melunak, walaupun belum memeluk Islam, mereka meminta Nabi SAW mengirim seseorang bersama mereka ke Najran untuk lebih memperkenalkan Islam kepada masyarakat mereka. Maka Nabi SAW berkata, "Baiklah, akan saya kirimkan bersama tuan-tuan seseorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya…..!!"
Para sahabat sangat takjub mendengar ucapan Nabi SAW, yakni pujian beliau sebagai orang terpercaya, dan beliau mengulangnya hingga tiga kali untuk menegaskan, siapakah orang tersebut sebenarnya? Setiap sahabat berharap, dia-lah yang ditunjuk oleh Nabi SAW. Bahkan Umar bin Khaththab yang tidak memiliki ambisi untuk memegang suatu jabatan apapun, sangat menginginkan agar dialah yang dimaksud Rasulullah SAW.
Ketika itu waktunya shalat dhuhur, Umar berusaha menampilkan dirinya di dekat Nabi SAW. Namun walau Nabi SAW telah melihat dirinya, beliau masih mencari-cari seseorang. Ketika pandangan beliau jatuh pada Abu Ubaidah, beliau bersabda, "Wahai Abu Ubaidah, pergilah berangkat bersama mereka, dan selesaikan apabila terjadi perselisihan di antara mereka….!"
Inilah dia orang terpercaya itu, dan para sahabat lainnya tidak heran kalau ternyata Abu Ubaidah yang dimaksudkan Nabi SAW. Beberapa kali, dalam beberapa kesempatan berbeda, beliau menyebut Abu Ubaidah sebagai ‘Amiinul Ummah’, orang kepercayaan ummat Islam ini.
Abu Ubaidah-pun menyertai rombongan tersebut kembali ke Najran, sebagaimana diperintahkan Nabi SAW. Sebagian riwayat menyebutkan, dua dari tiga pemimpinnya masuk Islam setelah mereka tiba di Najran, Yakni Al Aqib atau Abdul Masih, pemimpin yang mengendalikan roda pemerintahan, dan As Sayyid atau Al Aiham atau Syurahbil, pemimpin yang mengendalikan masalah peradaban dan politik. Lambat laun Islam menyebar di Najran berkat bimbingan ‘Amiinul Ummah’ ini. Bahkan akhirnya Nabi SAW mengirimkan Ali bin Thalib untuk membantu Abu Ubaidah dalam urusan Shadaqah dan Jizyah dari masyarakat Najran yang makin banyak yang memeluk Islam.
Pada masa khalifah Abu Bakar, ia mengikuti pasukan besar yang dipimpin oleh Khalid bin Walid untuk menghadang pasukan Romawi, yang dikenal dengan nama Perang Yarmuk. Walau ia seorang sahabat besar, senior dan seorang kepercayaan Nabi SAW dan kepercayaan ummat, ia hanyalah seorang prajurit biasa sebagaimana banyak sahabat besar lainnya. Dan tidak ada masalah baginya kalau komandannya adalah Khalid bin Walid, yang baru memeluk Islam setelah perjanjian Hudaibiyah, sebelum terjadinya Fathul Makkah. Padahal sebelumnya ia sangat gencar memerangi kaum muslimin sewaktu masih kafirnya. Bahkan Khalid bin Walid juga yang berperan besar menggagalkan kemenangan pasukan muslim di perang Uhud dan memporak-porandakan kaum muslimin, bahkan hampir mengancam jiwa Nabi SAW. Tetapi itulah gambaran umumkarakter sahabat Nabi SAW yang sebenarnya, termasuk Abu Ubadiah bin Jarrah. Ikhlas berjuang di jalan Allah, tidak karena jabatan, kekuasaan, harta, nama besar, atau bahkan tidak untuk kemenangan itu sendiri. Tetapi semua ikhlas karena Allah dan RasulNya.
Kembali ke perang Yarmuk, ketika pertempuran berlangsung sengit dan kemenangan sudah tampak di depan mata, datanglah utusan dari Madinah menemui Abu Ubaidah membawa dua surat dari khalifah. Pertama mengabarkan tentang kewafatan khalifah Abu Bakar, dan Umar diangkat sebagai khalifah atau penggantinya. Kedua, tentang keputusan khalifah Umar mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai komandan seluruh pasukan, menggantikan Khalid bin Walid.
Setelah membaca dua surat tersebut, Abu Ubaidah menyuruh utusan tersebut menyembunyikan diri di tenda sampai pertempuran selesai, ia meneruskan menyerang musuh. Setelah perang usai dan pasukan Romawi dipukul mundur, Abu Ubaidah menghadap Khalidlayaknya seorang prajurit kepada komandannya, dengan hormat dan penuh ta'dhimnya, dan menyerahkan dua surat dari khalifah Umar tersebut. Usai membaca dua surat itu, Khalid ber-istirja' (mengucap Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’un), dan memberitahukan kepada seluruh pasukan tentang isi dua surat tersebut, kemudian ia menghadap Abu Ubaidah, tak kalah hormat dan ta'dhimnya, dan berkata, "Semoga Allah memberi rahmat anda, wahai Abu Ubaidah, mengapa anda tidak menyampaikan surat ini padaku ketika datangnya..??"
Abu Ubaidah yang cukup mengenal ketulusan dan keikhlasan Khalid dalam berjuang, menjawab dengan santun, "Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda! Kekuasaan dunia bukanlah tujuan kita, dan bukan pula untuk dunia kita beramal dan berjuang! Tidak masalah dimana posisi kita, kita semua bersaudara karena Allah!!"
Sebagian riwayat menyatakan utusan tersebut menemui Khalid bin Walid, setelah membacanyaia menyuruh utusan bersembunyi sampai perang usai. Setelah kemenangan tercapai, Khalid bin Walid menghadap Abu Ubaidah layaknya seorang prajurit kepada komandannya, dan peristiwa berlangsung penuh ketulusan dan keikhlasan seperti riwayat sebelumnya.
Abu Ubaidah wafat ketika menjabat sebagai gubernur Syam, pada masa khalifah Umar bin Khaththab. Saat itu berjangkit penyakit tha'un (semacam wabah penyakit) yang menyerang dan membunuh beberapa orang sekaligus Ketika wafatnya ini, sahabat Mu'adz bin Jabal berkata khalayak ramai yang turut menghantar jenazahnya, "Sesungguhnya kita sekalian telah kehilangan seseorang yang, Demi Allah, aku menyangka tidak ada oranglain yang lebih sedikit dendamnya, lebih bersih hatinya, dan paling jauh dari perbuatan merusak, lebih cintanya pada kehidupan akhirat, dan lebih banyak memberikan nasehat kecuali Abu Ubaidah ini. Keluarlah kalian untuk menyalatkan jenazahnya, dan mohonkan rahmat Allah untuknya."
Mu'adz memimpin shalat jenazahnya dan turun ke liang lahat bersama Amru bin 'Ash dan Dhahak bin Qais.
Thalhah bin Ubaidillah
Sa’ad bin Abi Waqqash
Nama lengkapnya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash bin Uhaib Az-Zuhri dengan julukan “Abu Ishaq”,
Sa’ad bin Abi Waqqash meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan Khaulah binti Hakim.
Ia wafat pada tahu 55 H di Aqiq.
Disalin dari Biografi Sa’ad dalam Thadzib at Thadzib karya Ibn Hajar Asqalani 3/483 dan Shifaf at Shafwah karya Ibn Jauzi 1/138
Mu’adz bin Jabal Ra
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu (Wafat 18 H)
Lantas beliau mewasiatkan kepada Muadz dengan bersabda : “Wahai Muadz! Kemungkinan kamu tidak akan dapat bertemu lagi dengan aku selepas tahun ini“,
Muadz sangat terpukul atas berpulangnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Ia bahkan menangis tersedu-sedu selama beberapa saat.